Pariwisata sampai saat ini juga masih masuk ke dalam lima sektor prioritas pembangunan Indonesia tahun 2018, bersama dengan sektor pangan, energi, maritim, dan kawasan industrI ekonomi khusus. Pariwisata di Indonesia tahun 2017 juga telah mampu mendorong tumbuhnya sektor lain, seperti industri kecil di pedesaan, agro wisata, industri kreatif seni budaya, dan kuliner.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga telah menggencarkan pembangunan infrastruktur menuju destinasi prioritas. Hal itu tentu saja akan menggairahkan investasi di sektor pariwisata. Meski demikian, pembangunan infrastuktur mestinya tidak hanya dilakukan pada 10 destinasi prioritas yang sudah ditetapkan. Pemerintah perlu menambah destinasi prioritas di beberapa daerah, sehingga iklim investasi juga dirasakan oleh berbagai daerah. Keterbatasan aksesibilitas menuju destinasi seringkali menjadi kendala bagi pengembangan pariwisata di daerah.
Episode mimpi buruk pariwisata di Indonesia terjadi ketika Bom Bali 12 Oktober 2002. Pady’s Café dan Sari Club di Legian luluh lantah dibom oleh tiga pelaku teror Imam Samudra, Amrozy, dan Ali Gufron. Korban tewas 202 orang, 300 luka-luka dan 88 orang korban yang meninggal adalah warga negara Australia. Pariwisata Indonesia saat itu terasa tumbang. Beberapa pengusaha pariwisata jatuh bangkrut akibat travel warning yang dikeluarkan oleh beberapa negara. Kunjungan wisatawan asing dan domestik menurun drastis. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terjadi di industri pariwisata dan dunia usaha lain yang menopang pariwisata.
Belum lagi pariwisata Indonesia pulih, Bali kembali diguncang bom. Raja’s Café dan Menega Café di Jimbaran dibom pada tanggal 1 Oktober 2005. Pelakunya Misno dan Zalid Firdaus tewas dalam bom bunuh diri itu. Namun yang lebih memprihatinkan, 23 orang pengunjung café meninggal dan 129 orang luka. Pariwisata Indonesia kembali diuji oleh mimpi buruk. Dua peristiwa tersebut menggambarkan peneguhan, betapa tourism dan terrorism menjadi dua hal yang berbeda namun sangat berdekatan.
Mimpi buruk pariwisata Indonesia dilengkapi dengan erupsi Gunung Agung di Karangasem, Bali sejak Oktober hingga Desember 2017. Menteri Pariwisata Arief Yahya menyatakan erupsi tersebut menimbulkan kerugian bagi sektor pariwisata Indonesia. Kerugian ditaksir mencapai 250 milyar rupiah per hari atau jika ditotal mencapai 9 triliun rupiah. Padahal periode tersebut adalah peak season bagi kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara.
ISI
Berbicara pariwisata tentu tak lepas dari partisipasi terkhusus dalam pengembangan pariwisata di Bali. Partisipasi menjadi titik mula dalam pengembangan wisata berbasis masyarakat. Dengan partisipasi dari semua pihak khususnya masyarakat, iklim wisata akan terbangun. Ketika semua orang turut mendukung, maka para wisatawan akan merasa nyaman berdiam di sebuah objek wisata.
Terdapat pemikiran yang kurang tepat berkembang, jika mengembangkan objek wisata difokuskan pada bagaimana membangun destinasi. Destinasi memang penting, tapi bukan yang pertama yang perlu dipikirkan. Komunitas atau masyarakat adalah aspek pertama yang harus "ditata" terlebih dahulu. Keterlibatan semua orang untuk menjadikan lingkungannya sebagai lokasi yang nyaman bagi para wisatawan adalah hal pokok yang harus dituntaskan terlebih dahulu.
Selain partisipasi, prinsip yang harus dijaga dalam pengembangan wisata adalah menjaga kebudayaan. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan menjadi acuan dalam hal ini. Wisata tidak boleh hanya mengedepankan tujuan ekonomi tapi juga keberlanjutan sosial budaya dan lingkungan. Inti wisata berbasis masyarakat bukan soal bagus atau tidaknya destinasi. Perubahan pola pikir masyarakat adalah hal yang lebih utama. Misalnya dalam sebuah desa wisata yang sedang digalakkan di seluruh wilayah Bali, satu penduduk dengan penduduk lain harus memiliki keramahan yang sama. Ketika disambut dengan keramahan semua penduduk desa, secara otomatis wisatawan akan merasa senang dan akan kembali datang ke desa tersebut. Karenanya partisipasi masyarakat dan keramahan mereka inilah yang akan menjadi faktor keberlanjutan wisata berbasis masyarakat.
Ketika partisipasi dan keramahan sudah terbangun, proses pemasaran menjadi perhatian selanjutnya. Desa-desa wisata di Indonesia khususnya di Bali menemui kesuksesan karena bantuan teknologi dan keberadaan generasi milenial. Generasi ini umumnya memiliki karakter sebagai pengguna media dan teknologi digital. Penggerak wisata berbasis masyarakat harus mengenali karakter dan cara generasi milenial dalam berkomunikasi. Menguasai cara generasi milenial berkomunikasi berarti menguasai proses pemasaran wisata.
Ada 3 (tiga) program prioritas di Tahun 2018 untuk mewujudkan 20 Juta Wisman di Tahun 2019, Digital Tourism (E-Tourism), Homestay Desa Wisata dan Konektivitas Udara (Air Accesibility). Ketiganya menjadi prioritas mengikuti trend industri dunia saat ini dimana sudah tidak lagi owned economy tapi sharing economy, dengan didukung oleh semangat Indonesia Incorporated maka target Presiden Joko Widodo tersebut dapat terwujud. Saat ini Era dunia telah berubah, perusahaan Digital merajai ekonomi dunia dengan konsep sharing economy-nya. Pariwisata Indonesia juga harus beradaptasi dan bertransformasi dengan era baru tersebut, maka lahirlah program kebijakan Digital Tourism.
Begitu besarnya pengguna internet saat ini yang difasilitasi oleh Smartphone sehingga melahirkan sebuah Generasi Milenial. Sebuah generasi yang 80% eksis di dunia maya, media sosial dan media digital. Kementerian Pariwisata menangkap peluang ini dengan melahirkan sebuah komunitas netizen zaman now yang tertarik dengan pariwisata dan 80% bergerak di sosial media, yaitu GenPI (Generasi Pesona Indonesia) dan GenWI (Generasi Wonderful Indonesia) yang sangat disambut baik oleh Menteri Pariwisata. Dimana GenPI/GenWI adalah generasi milenial dengan basis komunitas yang aktif mempromosikan Pariwisata Indonesia baik melalui blog, vlog atau medsos kepada masyarakat luas. Mereka sangat aktif dan rutin menggunakan jari mereka untuk pariwisata Indonesia. Passion mereka memang di pariwisata, untuk itu setiap hari mempromosikan tema-tema pariwisata di Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, WeChat, Weibo, Line, Path, dan platform medsos lainnya.
Hasil studi Singapore Tourism Board menyatakan bahwa wisatawan milenial lebih suka mencari pengalaman baru, unik, otentik dan personal. Mereka sangat percaya pada ulasan-ulasan wisata terutama pada media sosial. Pada poin inilah wisata berbasis masyarakat bertemu dengan tren pasar. Desain wisata yang mengedepankan keintiman interaksi masyarakat desa dengan para wisatawan serta keunikan desa menjadi daya tarik bagi wisatawan milenial. Masih menurut Singapore Tourism Board, wisatawan milenial Indonesia mudah terpengaruh oleh pengalaman orang lain. Media social-lah yang menjadi media saling mempengaruhi tersebut. Selain media sosial, forum-forum di internet dan situs review wisata menjadi rujukan bagi mereka untuk berkunjung ke sebuah tempat wisata.
Generasi milenial adalah konsumen wisata yang sangat potensial. Selain jumlah yang besar, karakter mereka secara tidak langsung sangat mendukung proses promosi. Karenanya, pengelola wisata dituntut untuk mengikuti keinginan dan harapan mereka. Jika tidak, tentu mereka akan mengabaikan wisata kita. Secara berurutan, generasi milenial paling banyak menggunakan media sosial youtube, facebook dan instagram. Pegiat wisata berbasis masyarakat harus mempelajari karakter dari ketiga media sosial tersebut. Secara teknis, perlu riset media sosial untuk mendapatkan hati para generasi milenial. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari kata kunci yang berhubungan dengan wisata yang sedang kita kembangkan. Misalnya saat ada penyelenggaraan event pariwisata seperti Buleleng Festival tentu penggunaan hastag atau tanda pagar dalam meng-upload sesuatu. Setelah itu perlu mencari akun atau orang-orang yang tertarik dengan karakter wisata yang sedang dikembangkan. Terakhir, mengunggah foto atau video terbaik dengan menyertakan kata kunci dan menandai (tag) orang-orang sehuingga saat orang lain membuka aplikasi tentu akan menjadi prioritas tampilan dalam halaman awal.
Rhenald Kasali dalam artikelnya yang dimuat dalam Kompas.com menyebutkan bahwa ekonomi sekarang ini telah berubah menjadi Esteem Economy dari leisure economy pada era sebelumnya. Perubahan tersebut berimbas terhadap perubahan perilaku berwisata, dari hanya menikmati waktu senggang dengan kumpul-kumpul bersama teman atau keluarga yang biasa disebut dengan wisata sun, sand, and sea, berubah menjadi mencari pengalaman (experiences) dengan unsur ingin mendapatkan pengakuan karena pernah mengunjungi tempat-tempat yang lagi hits pada masanya. Perubahan perilaku berwisata tersebut menurut saya disebabkan oleh kebanyakan manusia sekarang ini yang sudah addicted terhadap gadget terutama smarphone yang sudah menjadi kebutuhan pokok diluar sandang, pangan dan papan. Coba saja bagaimana perasaan anda jika sehari saja tidak menggunaka smartphone karena hilang atau rusak, mungkin akan merasa seperti menjalani empty space yang sangat berat. Atau coba kita lihat bagaimana orang-orang berjalan (atau mungkin anda sendiri) tidak lagi melihat jalan dengan benar, tetapi sibuk memainkansmartphone-nya, bahkan sampai ada yang menabrak dinding atau masuk lobang, sungguh ironis tetapi itulah kenyatannya.
Keunikan lain dari Esteem Economy dalam dunia pariwisata yaitu bagaimana orang-orang tidak lagi mencemaskan pengorbanan dalam perjalanan mereka. Lihat saja orang-orang rela bermacet-macet ria dari Bali Selatan ke Kawasan Bedugul diakhir pekan, atau bahkan melakukan perjalanan beresiko seperti pendaki Gunung yang hanya untuk mengabadikan, update status atau live story di medsosnya atau hanya untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa mereka sudah mencoba atau pernah kesana.
Dari hal tersebut juga memperlihatkan bahwa kecemasan juga sudah berubah, dari mencemaskan pengorbanan untuk mengunjungi destinasi wisata menjadi mencemaskan kalau medsosnya tidak dikasih “hati” atau jempol oleh follower atau fans-nya. Sungguh perilaku yang unik kan, tapi lagi-lagi itulah kenyataannya dari fenomena tersebut. Melihat fenomena tersebut, Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan kelompok lainnya sebenarnya sudah menangkap hal tersebut. Dari rangkaian kegiatan promosi pariwisata yang dibalut dengan event-event dari awal Januari sampai dengan Desember tiap tahunnya tentu menjadi agenda yang padat sebagai percepatan peningkatan kunjungan pariwisata baik wisatawan manca negara dan domestik. Pengelolaan media sosial menjadi hal yang perlu ditingkatkan, dengan mengajak generasi milenial untuk berpartisipasi dalam mempromosikan apa yang mereka dapat atau apa yang mereka alami selama ada di wilayah Buleleng atau menyaksikan event-event wisata. Sederhananya harus ada aturan main yang mudah dan ditetapkan untuk digunakan dalam tiap unggahan generasi milenial dengan kata lain memaksimalkan penggunaaan tanda pagar tadi. Sosialisasi penggunaan tanda pagar dapat disampaikan melalui akun sosial media pemerintah daerah yang diteruskan oleh akun unit kerja sampai ke pemerintah kecamatan. Sehingga wisatawan yang lalu lalang di wilayah Buleleng akan terus melihat seperti di baliho-baliho jalan utama. Sedikit banyak sebagai ajang promosi di dunia maya, dunia maya milik generasi milenial dan generasi milenial sebagai alat promosi, saat promosi berjalan kunjungan ke Buleleng meningkat karena rasa ingin tahunya akibat “serangan” di social media yang tinggi, sederhananya seperti itu.
PENUTUP
Usaha pariwisata/destinasi zaman now harus mengedepankan prinsip digital friendly, yaitu harus dapat memfasilitasi pengunjungnya dalam melakukan look, book, buy dan act dengan media digital. Berarti pengelola harus benar-benar memiliki media digital seperti website, aplikasi mobile, dan mendukung sistem transaksi digital. Key success factor usaha pariwisata/destinasi zaman now adalah dengan menyediakan spot-spot dekomentasi yang Instagramable, yang dapat diabadikan oleh pengunjung baik dari depan, belakang, kanan, kiri, atas, bawah. Bahwa orang-orang sekarang ini sangat haus akan pengakuan, oleh karena itu pengelola harus memfasilitasi mereka dengan spot-spot foto yang memukau dan kekinian, serta jangan lupa untuk menciptakan spot yang dapat dijadikan landmark, yang dapat menjadi kembagaan mereka untuk membagikannya memalui medsos mereka.
Wisatawan zaman now memiliki gaya hidup digital (digital lifestyle), dan perangkat digital mereka harus didukung oleh beberapa fasilitas seperti tempat charging baterai, steker listrik (colokan), wifi, dll. Hal tersebut mungkin dipandang sepele, tetapi kenyataannya masih banyak tempat wisata yang masih belum aware. Padahal pada saat ini hal tersebut sudah menjadi hal yang generik, yang sudah seharusnya tersedia atau bukan lagi menjadi augmented product seperti zaman old. Usaha pariwisata/destinasi zaman now harus terus kreatif dan inovatif dengan selalu menampilkan augmented product yang baru, yang unik, agar selalu hits dan tidak membosankan. Kalau menurut Menteri Pariwisata, Arief Yahya usaha tersebut patokannya adalah bagaimana usaha pariwisata/destinasi zaman now agar selalu menciptakan creativity value dancommercial value, atau dengan kata lain bahwa selain harus menciptakan keunikan juga harus memiliki nilai jual. Sebagai faktor pengungkit, kita dapat mengundang komunitas travel blogger, vlogger, selebgram atau sejenisnya dan bekerjasama dengan Genpi (Gerakan Pesona Indonesia) sebagai media buzz atau word of mouth, karena generasi zaman now sudah relatif menghiraukan promosi konvensional, tetapi mereka sangat mempercai peer recomendation, seperti komentar atau review dalam medsos.